a. Mati
sebagai berhentinya darah mengalir
Konsep ini bertolak dari criteria
mati berupa berhentinya jantung. Dalam PP No. 18 tahun 1981 dinyatakan bahwa
mati adalah berhentinya fungsi jantung dan paru-paru. Namun criteria ini sudah
ketinggalan zaman. Dalam pengalaman kedokteran, teknologi resusitasi telah
memungkinkan jatung dan paru-paru yang semula terhenti dapat dipulihkan
kembali.
b. Mati
sebagai saat terlepasnya nyawa dari tubuh
Konsep
ini menimbulkan keraguan karena, misalnya, pada tindakan resusitasi yang
berhasil, keadaan demikian menimbulkan kesan seakan-akan nyawa dapat ditarik
kembali.
c. Hilangnya
kemampuan tubuh secara permanen
Konsep
inipun dipertanyakan karena organ-organ berfungsi sendiri-sendiri tanpa
terkendali karena otak telah mati. Untuk kepentingan transplantasi, konsep ini
menguntungkan. Namun, secara moral tidak dapat diterima karena kenyataannya
organ-organ masih berfungsi meskipun tidak terpadu lagi.
d. Hilangnya
manusia secara permanen untuk kembali sadar dan melakukan interaksi social
Bila
dibandingkan dengan manusia sebagai makhluk social, yaitu individu yang
mempunyai kepribadian, menyadari kehidupannya, kemampuan mengingat, mengambil
keputusan, dan sebagainya, maka penggerak dari otak, baik secara fisik maupun
sosial, makin banyak dipergunakan. Pusat pengendali ini terletak dalam batang
otak. Olah karena itu, jika batang otak telah mati, dapat diyakini bahwa
manusia itu secara fisik dan social telah mati. Dalam keadaan seperti ini,
kalangan medis sering menempuh pilihan tidak meneruskan resusitasi, DNR (do
not resuscitation).
Bila fungsi jantung dan
paru berhenti, kematian sistemik atau kematian sistem tubuh lainnya terjadi
dalam beberapa menit, dan otak merupakan organ besar pertama yang menderita
kehilangan fungsi yang ireversibel, karena alasan yang belum jelas. Organ-organ
lain akan mati kemudian.